Menjadi Guru adalah Pilihan

MENJADI GURU ADALAH PILIHAN, BUKAN PELARIAN

Oleh; Sriyanto*

Lamongan. Sebuah kota kecil yang sempat terkenal dikalangan Internasional. Akibat ulah Amrozi CS melakukan peledakan bom Bali. Disinilah saya dilahirkan dari keluarga seorang petani. Di waktu kecil, tidak ada dalam benak pikiran saya besok dewasa menjadi seorang guru. Dulu hanya berkeinginan menjadi seorang militer (polisi atau tentara) karena tanpa perlu kuliah dan banyak tetangga saya orang militer itu disegani dan dihormati. Namun dalam perjalanan waktu ada suatu peristiwa yang mendorong saya harus kuliah, tapi orang tua tak mampu membiayanya. Untuk mensiasiati itu harus masuk perguruan tinggi negeri agar mendapat biaya lebih murah. Masuk ke perguruan tinggi negeri bukan perkara mudah, akhirnya saya memilih perguruan tinggi yang banyak peluang untuk masuk disitu dan biaya lebih murah, alhamdulillah saya diterima di Unesa. Banyak teman yang mengatakan Unesa adalah kampusnya calon-calon guru. saya tak berpikir panjang besok jadi apa, yang penting saya bisa kuliah. Seiring perkembangan dari waktu ke waktu profesi guru memiliki nilia plus dibandingan dengan profesi yang lainnya. Akhirnya setelah lulus kuliah saya memutuskan guru sebagai pilihan bukan pelarian.

Bagi saya, guru adalah sebuah profesi yang mulia. Dikatakan mulia karena guru sebagai ‘jembatan’ generasi muda untuk mencapai kesuksesan dan memiliki kepribadian yang mulia dimasa depan. Banyak guru menyadari bahwa perannya hanya sebagai ‘jembatan’ saja, tetapi tidak bisa menikmati kesuksesan anak didiknya dimasa datang. Walaupun muridnya menjadi dokter, pengusaha, menteri atau presiden, bahkan menjadi orang tersohor didunia, guru tetap menjadi guru. Bagi guru, ada suatu kepuasan tersendiri (bathiniah), jika anak didiknya menjadi orang yang sukses dan bermanfaat bagi orang lain (mulia).

Mengutip pendapatnya M.Nuh, “Memuliakan profesi yang mulia (guru) adalah kemuliaan, dan hanya orang-orang mulia yang tahu bagaimana memuliakan dan menghargai kemuliaan. Sayyidina Ali RA. bahkan pernah menyampaikan: Saya menjadi hamba (menghormati dan memuliakan) bagi orang yang mengajarkan kepada saya, meskipun hanya satu huruf. Bertanggung jawab terhadap pembentukan masa depan menunjukkan bahwa guru berbeda dengan profesi lain,”(SI/25/11/11).

Menjadi guru, bukan persoalan mudah. Tanggung jawab seorang guru sangatlah berat, didalamnya dituntut pengabdian, kesabaran, dalam mendidik generasi bangsa ini. Harus ada pula teladan dan kasih sayang terhadap muridnya ketika berada d isekolah. Sekolah dianggap sebagai rumah kedua, karena sebagian waktu di habiskan untuk mengajar dan mendidik. Sebagai pendidik, seorang guru dituntut dalam menjadi panutan dalam masyarakat, karena sikap dan prilaku selalu menjadi perhatian masyarakat. Sehingga guru harus memberikan teladan dan inspirasi bagi warga disekitarnya. Semua tanggungjawab guru di atas, dengan bahasa lain, guru harus memiliki empat kompetensi dasar yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. (baca; kompetensi guru).

Salah satu diantara kompetensi guru yakni profesionalitas. Profesionalitas guru tentunya sangat terkait dengan unsur-unsur manajemen kerja guru: bagaimana membuat perencanaan, kemudian mengaplikasinya dengan mengajar dikelas lalu harus ada evaluasi tentang kualitas pembelajaran itu. Lebih penting lagi, ketika pada saat mengaplikasikan dalam proses belajar mengajar, apabila ada hal-hal yang aneh atau peristiwa yang membuat kita harus belajar lebih giat lagi. Seorang guru bisa merekam setiap peristiwa itu menjadi sebuah catatan khusus, kalau meminjam istilah Munif Chatib (penulis buku bestseller Gurunya Manusia) adalah spesial moment. Spesial moment bisa diartikan suatu kondisi khusus yang dirasakan oleh guru atau siswa terhadap hal-hal tertentu dalam proses belajar mengajar yang bisa dijadikan bahan renungan atau pelajaran yang berharga. Jika setiap hari guru memiliki special moment dan terekam dengan baik, maka bisa dijadikan bahan ajar atau dibuat menjadi artikel pendidikan. Inilah yang menjadikan profesi guru sekaligus belajar menjadi ‘penulis’.

Suatu misal, saya menemukan spesial moment pada awal mengajar di sekolah yang baru saya tempati. Pada saat itu saya mengajar di kelas ‘istimewa’, banyak guru mengatakan kelas itu yang sudah dikelompokan atau dikondisikan. Ketika masuk pintu kelas, anak-anak ribut dengan sendirinya, jalan kesana kemari seakan-akan tidak ada gurunya, luar biasa!. Sebagai guru baru tidak dihargai, kemudian saya diam sejenak sambil melihat dan mentatap dengan tajam wajah-wajah calon pemimpin bangsa. Tak lama, anak-anak diam dengan sendirinya. Lalu saya memperkenal diri, ketika sudah tahu saya pengajar pendidikan kewarganegaraaan (PKn). Anak-anak tidak termotivasi untuk belajar PKn karena anggapan mereka bahwa PKn tidak masuk pelajaran Unas dan pelajarannya membosankan. Dalam hati kecil saya ini sebuah tantangan tersendiri, kemudian saya mencari ide bagaimana, anak-anak bisa tertarik dan mengikuti pelajaran. Saya putarkan video dokumenter yang terkait dengan pembahasan bela negara. Video itu menjelaskan tentang pola prilaku remaja saat ini, yang tersangkut narkoba, tawuran antar pelajar dan miras. Kemudian anak-anak saya tanya, bagaimana nasib negara kita, jika generasi penerus bangsa seperti itu? Lalu saya ulas dan dikaitkan dengan materi, akhirnya anak-anak terkesimak dan antusias mengikuti pelajaran. Ini sebuah pengalaman yang berharga bagi saya belajar dari kondisi anak seperti itu.

Memang saya sadari, merekam suatu peristiwa atau ‘menjahit’ sebuah ide dan gagasan dalam setiap moment walaupun dalam bentuk sederhana dan lebih bermakna, itu bukan masalah gampang, dibutuhkan rajin membaca (buku atau situasi) dan perlu untuk membiasakan menulis dan menulis. Menulis tulisan ini juga mencoba membiasakan menulis dan dalam rangka belajar menjadi seorang ‘penulis’.

*Staff Pendidik SMP Al Hikmah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membakar Spirit Menulis